KONFERENSI ASIA AFRIKA
KONFERENSI ASIA AFRIKA
KAA merupakan sebuah konferensi tingkat tinggi yang diadakan oleh negara-negara
dari Asia dan Afrika. Penyelenggaraan KAA ini diprakarsai oleh lima negara yakni
Indonesia, Myanmar, Sri Lanka, India dan Pakistan.
KAA adalah gagasan yang lahir dari perasaan senasib sepenanggungan antara negara-negara di kawasan Asia dan Afrika sebagai dampak dari Perang Dunia II.
Selain itu, KAA juga merupakan bentuk solidaritas negara-negara perwakilan untuk
berupaya menghapus penjajahan dari negerinya dan negeri di sekitar Asia-Afrika.
Sejarah Konferensi Asia Afrika
Perkembangan politik usai Perang Dunia II diwarnai munculnya persaingan antara
dua kelompok kekuatan dunia, yakni Blok Barat (Amerika Serika) dan Blok Timur
(Uni Soviet/Rusia).
Di sisi lain, masih banyak masalah di beberapa belahan dunia terkait penjajahan suatu
bangsa atas bangsa lain terutama di kawasan Asia, Afrika, Amerika Selatan (Latin),
dan lainnya.
Hal itu menimbulkan keprihatinan bagi semua pimpinan negara yang baru merdeka
dan mendorong beberapa pemimpin negara-negara di kawasan Asia untuk
mengadakan pertemuan bersama.
Pertemuan informal pertama dilakukan pada 28 April sampai 5 Mei 1954 di
Kolombo, Pakistan, oleh lima pimpinan negara yang kemudian disebut Konferensi
Kolombo. Kemudian dilakukan langkah persiapan berikutnya oleh lima perdana menteri
tersebut di Bogor pada 28 dan 29 Desember 1954 yang dikenal dengan Konferensi
Panca Negara. Pertemuan tersebut menghasilkan kesepakatan tentang agenda acara, tujuan, dan
negara-negara yang akan diundang pada suatu konferensi mendatang.
Gedung Dana Pensiun dan Gedung Concordia disiapkan sebagai tempat sidang
konferensi.
Pada 1 April 1955 dilakukan penggantian nama gedung yang akan
menjadi tempat konferensi.
Gedung Dana Pensiun menjadi Gedung Dwiwarna, Gedung Concordia menjadi
Gedung Merdeka, dan Jalan Raya Timur menjadi Jalan Asia Afrika.
KAA menghasilkan kesepakatan dan deklarasi bersama dengan nama Dasasila
Bandung.
Melalui penyelenggaraan KAA membuktikan bahwa berbagai peran telah dilakukan
oleh pemerintah Indonesia dalam upaya menciptakan perdamaian dunia. Pemerintah Amerika Serikat pada awalnya memandang Konferensi Bandung dan
gerakan nonblok yang muncul dari konferensi tersebut dengan sikap hati-hati. Para
pengamat di Amerika menyatakan keprihatinannya bahwa pertemuan tersebut
merupakan tanda pergeseran ke arah kiri dalam kecenderungan ideologi negara-negara yang baru merdeka di Afrika dan Asia.
Selain itu, konferensi tersebut mengungkapkan dua kontradiksi dalam kebijakan luar
negeri AS terkait dekolonisasi di Dunia Ketiga.
Pertama, Pemerintah Amerika Serikat terjebak antara keinginannya untuk mendukung
dekolonisasi dan penentuan nasib sendiri di Asia Tenggara dan Afrika dan
ketergantungannya pada kekuatan kolonial Eropa Barat sebagai sekutu melawan Blok
Timur yang komunis. Kerjasama dengan Inggris, Perancis dan Belanda sangat
penting bagi kebijakan AS di Eropa, namun mendukung dekolonisasi sama saja
dengan menentang sekutu-sekutu tersebut.
Kedua, konferensi tersebut bertepatan dengan perubahan mendasar dalam hubungan
ras di AS. Keputusan Brown v. Dewan Pendidikan tahun 1954 telah menyatakan
segregasi sekolah tidak konstitusional, tetapi proses untuk mengakhiri undang-undang Jim Crow di Amerika Selatan memakan waktu lama dan sulit. Banyak negara
di dunia, khususnya negara-negara yang baru merdeka, mengikuti gerakan hak-hak
sipil AS dengan penuh perhatian dan mempertanyakan sejauh mana retorika AS
tentang kesetaraan dan penentuan nasib sendiri sesuai dengan status hak-hak sipil di
Amerika Serikat. Para pemimpin AS khawatir bahwa anti-kolonialisme di Bandung
dan diskusi mengenai politik rasial global yang terjadi di sana dapat berubah menjadi
anti-Amerika atau anti-Barat.
Namun pada akhirnya, Konferensi Bandung tidak menimbulkan kecaman umum
terhadap Barat seperti yang dikhawatirkan oleh para pengamat AS. Sebaliknya, para
peserta menampilkan beragam ideologi dan loyalitas. Sekutu AS di Asia mampu
mewakili kepentingan bersama mereka dengan Amerika Serikat dalam pertemuan
konferensi tersebut, dan Perdana Menteri Tiongkok Zhou Enlai mengambil sikap
moderat dalam pidatonya di hadapan para delegasi. Meskipun demikian, Bandung
memberikan suara kepada negara-negara berkembang dan menunjukkan bahwa
mereka dapat menjadi kekuatan dalam politik dunia di masa depan, baik di dalam
maupun di luar kerangka Perang Dingin.
Tujuan Konferensi Asia Afrika
- Mempererat solidaritas negara-negara di Asia dan Afrika.
- Meninjau masalah-masalah hubungan sosial ekonomi dan kebudayaan dari negara-negara Asia dan Afrika.
- Menjalin kerukunan antar umat beragama di wilayah Asia dan Afrika.
- Memberikan sumbangan untuk memajukan perdamaian dan kerja sama dunia.
- Mencanangkan gerakan politik untuk melawan kapitalisme asing.
- Melawan kolonialisme dan neokolonialisme Amerika Serikat, Uni Soviet, dan negara imperialis lain.
Isi Dasasila Bandung
Konferensi Asia Afrika menghasilkan beberapa keputusan dalam bentuk Dasasila
Bandung. Di bawah ini 10 poin Dasasila Bandung.
- Menghormati hak-hak asasi manusia dan menghormati tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip dalam Piagam PBB.
- Menghormati kedaulatan dan keutuhan wilayah semua negara.
- Mengakui persamaan derajat semua ras serta persamaan derajat semua negara besar dan kecil.
- Tidak campur tangan di dalam urusan dalam negeri negara lain.
- Menghormati hak setiap negara untuk mempertahankan dirinya sendiri atau secara kolektif, sesuai dengan Piagam PBB.
- Tidak melakukan tindakan atau ancaman agresi atau menggunakan kekuatan terhadap keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik negara mana pun.
- Menyelesaikan semua perselisihan internasional dengan cara-cara damai, seperti melalui perundingan, konsiliasi, arbitrasi, atau penyelesaian hukum, ataupun cara-cara damai lainnya yang menjadi pilihan pihak-pihak yang bersangkutan sesuai dengan Piagam PBB.
- Meningkatkan kepentingan dan kerja sama bersama.
- Menjunjung tinggi keadilan dan kewajiban-kewajiban internasional.
Komentar
Posting Komentar