Membongkar Mitos Dunia Digital, "More Media Are Better Media"


Per Juni 2018, ada lebih dari 4,2 miliar pengguna internet di dunia. Jumlah websites/situs yang beredar di tahun 2017 sendiri mencapai lebih dari 900 juta domain. Dan selama rentang 18 tinternet (2000-2018), pertumbuhan pengguna internet menyentuh 1,066%. Dan diprediksi pada tahun 2020, ada lebih dari 50 miliar gawai terkoneksi dengan dunia digital.
Apa maksud semua statistik dunia digital dimatas? Bahwa internet masih tumbuh secara eksponensial. Baik dari segi infrastruktur, softwarehardware sampai users. Dan secara eksplisit, media digital baik situs, portal berita, dan blog, akan tumbuh seiring pencarian informasi yang bukan ilmu.
Ragam dan besarnya informasi kini berada dalam genggaman. Limpahan informasi ini pun dapat membentuk mitos users bahwa merasa semakin banyak media, maka akan lebih baik. Namun benarkah banyak media itu lebih baik? Apakah ada ekses negatif dari asumsi ini?
Media digital selalu menjadi referensi akademis maupun non-akademis kita. Pertumbuhan pesat media digital dengan kekhasannya adalah anugerah. Pengguna yang senang akan informasi mengenai gawai, manga, fotografi, dsb, cukup menelusur via Google. Ratusan sampai ribuan situs bisa dilacak oleh mesin peramban.
Namun apakah informasi dari media digital ini semua memberikan apa yang kita butuh pahami? Apakah content writersitus tadi kompeten? Adakah bias atau afiliasi yang ada dalam media tersebut? Itu hanya beberapa langkah digital dietting yang bisa kita terapkan saat menelusuri informasi yang sehat.
Dan di sisi lain, tidak semua media muncul karena kebutuhan kita akan satu informasi. Sering apa yang kita butuhkan sangat spesifik. Sehingga keywords yang ditelusur via Google memunculkan hasil yang relevan tapi tidak sesuai keinginan. Yang terjadi ini adalah akibat bias algoritma dari operator (Google) dan users sendiri.
Begitu kita online dan menelusur suatu informasi. Yang terjadi adalah, algoritma mesin peramban mengkalkulasi dan memunculkan apa yang relevan sesuai jejak digital yang kita buat. Eli Pariser (2011) menyebut fenomena ini sebagai filter bubble. Kepopuleran situs yang dinilai SEO atau dengan berbayar bisa dimunculkan di laman pertama Google. Hal ini tak langsung membatasi informasi yang kita dapat.
Dampaknya, kita tidak mendapatkan information diversity. Menurut Engin Bozdag (2015) dalam buku Bursting The Filter Bubbleinformation diversity adalah hak individu pada keberagaman informasi. Walaupun informasi tadi bertentangan dengan prinsip, kebenaran, dan nilai sosial seseorang. Tidak boleh ada yang membatasi akses pada hak berbicara/beropini orang lain guna kebaikan bersama.
Sehingga dari konsep filter bubble dan information diversity tadi kita tarik kesimpulan. Pola filter bubble sejatinya memblokir dan mengurangi hak kita mendapat informasi yang memuaskan dan bertentang dari apa yang kita tahu. Karena informasi oposan tak kadang membuat kita lebih paham apa yang kita ingin tekuni.
Maka apakah benar mitos "more media are better media" sesuai apa yang terjadi di dunia digital? Kesimpulan tentatif berikut bisa menggambarkan yang terjadi:
  • Tidak semua media menyajikan informasi yang memuaskan karena distorsi algoritma dan 'tweak' users via SEO/berbayar.
  • Media digital yang masuk ke pemeringkat Google dan dikombinasikan dengan bias jejak digital kita, mendistorsi hak atas keberagaman informasi.
  • Dan, tidak semua media digital dengan kontennya akan menyajikan sumber yang non-bias dan lepas dari kredibiltas penulis/institusinya.
Baiknya, kita bersifat skeptis pada media. Sampai pada indikasi kita bahwa konten, pembuat situs, dan afiliasinya kita anggap kompeten dan kredibel pada ranah interest atau ilmunya. Karena media digital pun dimonitor operator, pimpinan redaksi, sampai pemegang saham media tersebut. 
Lebih banyak media digital memang tidak selamanya bermanfaat. Selama kita tidak memahami literasi dunia digital dan literasi media.

Sumber : Kompasiana

Komentar

Postingan populer dari blog ini