Salah Arah Perang terhadap Narkotika
Sebanyak 30.641 penghuni Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) yang merupakan pengguna dan pecandu narkotika. Masuknya para pecandu dan pengguna ke dalam Lapas adalah fakta gagalnya penanganan narkotika.
Peringatan Hari Anti Penyalahgunaan
dan Peredaran Gelap Narkotika yang jatuh pada 26 Juni 2018, merupakan momentum
bagi semua pihak, terutama pemerintah, untuk merefleksikan kembali capaian
keberhasilan terhadap perang terhadap narkotika. Lebih jauh lagi, merupakan
momentum yang tepat untuk mengkaji ulang kebijakan narkotika di Indonesia.
Masuknya Pasal-Pasal Narkotika dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(RKUHP), hingga persoalan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang
Narkotika (UU Narkotika) harus menjadi perhatian penting pemerintah.
Dalam tataran regulasi, misalnya,
Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia, Fakultas Hukum – Universitas Indonesia
(MaPPI FHUI) dan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai UU
Narkotika pada praktiknya justru menimbulkan sejumlah persoalan krusial.
Setidaknya ada lima persoalan yang muncul dalam pelaksanaan peraturan tersebut,
yaitu:
Pertama, kurangnya sinergi terkait kebutuhan rehabilitasi. UU Narkotika secara
tegas menempatkan Badan Narkotika Nasional (BNN) sebagai lembaga koordinasi
pelaksanaan kebijakan narkotika dengan Kementerian Kesehatan dan Kementerian
Sosial sebagai pelaksana lapangan. BNN baru memiliki kewenangan untuk melakukan
Rehabilitasi berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 23 Tahun 2010. Hal
itu menunjukkan belum adanya pengaturan yang memadai dan sinergi dari lembaga
negara terkait kebutuhan Rehabilitasi. Hasilnya, Rehabilitasi masih belum dapat
menjangkau para pecandu dan pengguna narkotika yang memiliki hak atas
kesehatan.
Kedua, lemahnya pengawasan peredaran prekursor atau bahan pemula narkotika.
Lemahnya pengawasan justru memberikan peluang lahirnya pabrik-pabrik gelap
narkotika seperti kasus pabrik narkotika Cikende yang terbongkar pada 2005.
Dalam praktiknya peredaran prekursor tidak hanya diatur dalam UU Narkotika
tetapi juga diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 47/M
Dag/PER/7/2012 tentang ketentuan ekspor prekursor non-farmasi. Kebijakan itu
justru berpotensi disalahgunakan dan dengan pengawasan peredaran yang lemah dan
akses yang mudah maka bukan tidak mungkin potensi penyalahgunaannya semakin
tinggi.
Ketiga, persoalan penegakan hukum yang belum mencerminkan rasa keadilan. MaPPI
FHUI dalam kajian tentang Indeksasi Putusan Narkotika menemukan sedikitnya ada
empat masalah dalam penegakan hukum, yakni:
a)
Penangkapan terhadap 28 orang pengguna atas kepemilikan sabu-sabu kurang dari
0,5 gram. Padahal jumlah gram minimal untuk dapat dilakukan proses pro-justitia untuk jenis sabu-sabu adalah sejumlah satu gram;
b) Penegak hukum cenderung
mengenakan pasal berlapis kepada tersangka/pengguna. Hal itu menutup peluang
bagi pelaku untuk mendapatkan diversi;
c) Alat bukti yang dipakai oleh
penegak hukum dalam menjerat pelaku pada umumnya hanya dua orang saksi yang
merupakan penyidik dan surat periksa laboratorium;
d) Dalam mengadili perkara
narkotika, hakim seringkali mengabulkan tuntutan jaksa tanpa pertimbangan dan
analisis yang cukup kuat serta tidak mempertimbangkan pidana alternatif selain
pemenjaraan.
Selain itu, kasus narkotika
merupakan jenis perkara yang paling banyak dikenakan tuntutan pidana mati
dibandingkan dengan perkara pidana lainnya. Ditemukan 28 perkara narkotika yang
dituntut dengan hukuman mati. Dalam pelaksanaannya, penjatuhan pidana mati juga
memunculkan banyak persoalan. Dalam kasus Humprey, misalnya, Ombudsman justru
menyatakan ada maladministrasi dalam pelaksanaan eksekusi mati terhadap Humprey
yang tertuang dalam laporan Nomor. 0793/LM/VIII/Jkt. Eksekusi mati tersebut
dilakukan pada masa proses grasi berjalan yaitu sebelum masa 72 jam notifikasi
berakhir.
Keempat, munculnya overcrowding Lapas. Dari total daya tampung sebanyak 124.162 orang, pada
kenyataannya kini ada sebanyak 246.602 orang Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP)
yang menghuni Lapas dan Rutan di seluruh wilayah Indonesia. Narkotika
menyumbang hampir setengah penghuni Lapas, padahal overcrowding mengakibatkan beban tinggi pada negara sehingga Lapas tidak mampu
memenuhi hak para terpidana, khususnya pengguna dan pecandu narkotika yang
membutuhkan penanganan kesehatan dan lingkungan yang sehat.
Kelima, pemerintah gagal dalam melindungi warga negara yang merupakan korban
narkotika. Pemerintah berulang kali menyebutkan bahwa salah satu fokus
penanganan narkotika adalah penyelamatan pecandu dan pengguna narkotika.
Faktanya adalah praktik penegakan hukum selama ini masih menempatkan pecandu
dan pengguna narkotika dalam Lapas. Berdasarkan data Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan (Ditjen PAS) Kementerian Hukum dan HAM, pada Mei 2018 terdapat
sebanyak 30.641 penghuni Lapas yang merupakan pengguna dan pecandu narkotika.
Masuknya para pecandu dan pengguna ke dalam Lapas adalah fakta gagalnya
penanganan narkotika.
Oleh karena itu, dimohon kepada
pemerintah untuk; pertama, melakukan evaluasi pelaksanaan UU Narkotika. Kedua,
membentuk pengawasan satu pintu untuk izin prekursor narkotika. Ketiga,
menghentikan pemenjaraan terhadap pengguna narkotika dan mengedepankan
pendekatan kesehatan pada masalah narkotika.
Komentar
Posting Komentar