Budaya Membaca
"Buku adalah jendela
dunia". Kunci untuk membukanya adalah membaca. Ungkapan ini secara jelas
menggambarkan manfaat membaca, yakni membuka, memperluas wawasan dan
pengetahuan seseorang. Berbagai penelitian membuktikan bahwa lingkungan, terutama
keluarga, merupakan faktor penting dalam proses pembentukan kebiasaan membaca.
Gemar membaca tidak tumbuh begitu
saja. Sebagian orang tua mencoba untuk rutin membacakan cerita atau mendongeng
sebagai pengantar tidur anak-anak mereka. Ada orang tua mendongeng dengan
mengarang cerita mereka sendiri atau membacakan sebuah buku. Sementara orang
tua membacakan cerita, anak-anak mendengarkan sambil melihat gambar-gambar yang
ada dalam buku. Dari sini petualangan imajinasi anak dimulai, bahkan cerita kadang
terbawa dalam mimpi.
Bukan hanya keluarga, sekolah pun
berperan penting dalam pembentukan kebiasaan membaca. Sebuah harian nasional
Jepang terbitan Tokyo, Yoshiko Shimbun, memuat tulisan tentang peran
sekolah dalam membentuk kebiasaan membaca di Jepang. Para guru mewajibkan siswa
untuk membaca selama 10 menit sebelum melakukan kegiatan belajar-mengajar di
sekolah. Kebijakan ini telah berlangsung selama 30 tahun dan diyakini turut
mendorong perkembangan peradaban Jepang.
Survei telepon yang dilakukan Kompas
pekan lalu belum sampai memotret peran sekolah tersebut, tetapi baru mencoba
menangkap ada tidaknya kebiasaan membaca dalam keluarga. Hasil survei
menunjukkan, kebiasaan membaca dalam keluarga diakui ada oleh lebih dari 80
persen responden. Umumnya mereka menyediakan waktu membaca setidaknya 30 menit
per hari. Hal ini tidak terlalu mengejutkan karena responden jajak pendapat
didominasi kelompok usia 50 tahun ke atas, yang notabene baru mengenal gawai
dan internet di usia dewasa. Bahan bacaan yang umum dipilih adalah surat kabar.
Sementara internet menduduki posisi kedua sebagai sumber informasi (bahan
bacaan).
Sebaliknya, satu dari lima responden
menyatakan tidak memiliki kebiasaan membaca dalam keluarga mereka. Sebagian
besar dari mereka (66,7 persen) mengaku bahwa keluarga mereka terbiasa
melakukan kegiatan yang bersifat kumpul kerabat. Bentuk yang banyak dipilih
adalah makan bersama keluarga dan biasanya dilakukan di luar rumah.
Manfaat membaca
Berbagai penelitian memperlihatkan
kebiasaan membaca bacaan bermutu berkontribusi terhadap tingkat kecerdasan
seseorang. Dengan membaca, seseorang terbantu untuk melihat permasalahan dari
berbagai sudut pandang dan menganggapnya sebagai tantangan yang harus
diselesaikan.
Ada banyak manfaat membaca, di
antaranya membantu pengembangan pemikiran dan menjernihkan cara berpikir,
meningkatkan pengetahuan, meningkatkan memori dan pemahaman. Dengan sering
membaca, seseorang mengembangkan kemampuan untuk memproses ilmu pengetahuan,
mempelajari berbagai disiplin ilmu, dan menerapkan dalam hidup.
Gemar membaca juga dapat melindungi
otak dari penyakit alzheimer, mengurangi stres, mendorong pikiran positif.
Membaca memberikan jenis latihan yang berbeda bagi otak dibandingkan dengan
menonton TV atau mendengarkan radio. Kebiasaan membaca melatih otak untuk
berpikir dan berkonsentrasi.
Sekalipun banyak manfaat diperoleh
dari kebiasaan membaca, tetapi banyak warga Indonesia cenderung menghabiskan
waktu di depan pesawat televisi.
Minat baca rendah
Merujuk data Badan Pusat Statistik
(BPS) 2012, tercatat sembilan dari sepuluh penduduk berusia 10 tahun ke atas
lebih menyukai menonton televisi. Sebaliknya, hanya 3 dari 20 warga yang
menyukai membaca surat kabar, buku, dan majalah.
Jika dilihat dari rasio pembaca
surat kabar, konsumsi satu surat kabar di Indonesia lebih rendah dibandingkan
dengan negara tetangga di ASEAN. Jika di Filipina satu surat kabar dibaca 30
orang, di Indonesia satu surat kabar menjadi konsumsi bagi 45 orang. Idealnya,
satu surat kabar dibaca 10 orang.
Tak hanya itu, setiap siswa sekolah
menengah di beberapa negara maju wajib menamatkan buku bacaan dengan jumlah
tertentu sebelum mereka lulus sekolah. Taufiq Ismail, sastrawan nasional,
pernah menyatakan bahwa di Jerman siswa wajib menamatkan 22-32 judul buku (1966-1975),
Jepang 15 judul buku (1969-1972), Malaysia 6 judul buku (1976-1980), Singapura
6 judul buku (1982-1983), Thailand 5 judul buku (1986-1991). Di Indonesia sejak
tahun 1950-1997 terdapat nol buku atau tidak ada kewajiban bagi siswa untuk
menamatkan satu judul buku pun. Kondisi ini masih berlangsung hingga sekarang.
Survei Kompas hanya memotret
lingkup kecil masyarakat (perkotaan) di Indonesia dalam hal kebiasaan membaca.
Namun, semua hasil pengamatan menunjukkan, kebiasaan membaca merupakan hasil
pembentukan. Keluarga dan sekolah atau lingkungan di mana anak berada berperan
penting dalam pembentukan kebiasaan membaca. Oleh karena itu, kebijakan
pemerintah beberapa negara di bidang pendidikan dirancang untuk mendukung
pembentukan tersebut dengan melibatkan sekolah dan warga masyarakat (keluarga).
(Litbang Kompas)
Membangun Budaya Baca Di Lingkungan Perguruan Tinggi
Sebagai Upaya Meningkatkan Intelektualitas Mahasiswa
Budaya membaca belum
menjadi bagian kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Hal ini terlihat
dari minimnya kebiasaan masyarakat dalam membaca, indikasi yang paling
sederhana adalah dalam membaca surat kabar. Mereka lebih meminati budaya
menonton melalui media televisi.
Padahal, banyaknya tayangan televisi yang memuat hal-hal yang kurang
baik ditonton oleh generasi baru, mulai dari perilaku kurang santun dari para
pejabat dan wakil rakyat hingga dugaan korupsi milyaran rupiah, kekerasan, dan
budaya hedonistik lainnya telah membentuk pendidikan karakter bangsa ini yang
keliru.
Minat baca merupakan
kunci utama dalam menggalakkan media buku sebagai sarana penyebarluasan
informasi serta ilmu pengetahuan. Informasi sangat penting bagi manusia yang
ingin maju, karena itu membaca sebagai salah satu cara untuk mendapatkan
informasi. Membaca merupakan unsur yang sangat menentukan dalam usaha
meningkatkan pengetahuan dan pendidikan, maka perpustakaan memperoleh pula
fungsi sebagai sarana untuk pendidikan. Kurangnya minat baca masyarakat umum
maupun kalangan pelajar atau mahasiswa
Dalam era informasi
dan ilmu pengetahuan, setiap orang berupaya mengembangkan keahliannya dengan
mendapatkan informasi serta ilmu pengetahuan sebanyak-banyaknya dan secepat
mungkin. Orang akan ketinggalan dan tidak dapat mengikuti kemajuan apabila
tidak mempelajari dan mendayagunakan ilmu pengetahuan dan teknologi. Salah satu
cara memperoleh informasi dan ilmu pengetahuan adalah dengan membaca.
Menumbuhkan minat membaca merupakan suatu langkah untuk menciptakan mahasiswa
yang gemar membaca. Minat baca itu perlu ditumbuhkan sedini mungking agar lebih
mudah menjadikan membaca sebagai kebiasaan hidup sehari-hari. Apabila membaca
sudah menjadi kebutuhan hidup sehari-hari, akan tercipta budaya baca.
Membaca merupakan
aspek terpenting dalam dunia pendidikan. Sehingga penanaman budaya baca[1] di
kalangan mahasiswa memiliki peran penting demi menuju suatu masyarakat
informasi (information society). Dalam rangka menuju masyarakat informasi
(Infomation society) ketrampilan membaca
sebagai aspek penting pembelajaran perlu disosialisasikan dan perlu
dikampanyekan di kalangan mahasiswa.
Upaya membangun
budaya baca di kalangan Mahasiswa dimaksudkan
untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang berwawasan dan tanggap akan
perubahan yang terjadi dilingkungan luar (eksternal) sehingga tercipta
masyarakat yang berpengetahuan. Dengan demikian, maka budaya membaca sebagai
karakter yang dimiliki bangsa Indonesia perlu ditumbuhkankembangkan dalam diri
setiap masyarakat sejak dini dalam lingkungannya. Karena dengan budaya membaca
yang tinggi masyarakat akan mampu menangkap isu strategis yang muncul dari
budaya globalisasi yang telah merambah seluruh pelosok negeri. Melalui membaca
pula, masyarakat dapat menilai konsep dan
teori-teori pendidikan yang baik dan
cocok untuk diterapkan di republik tercinta ini sebagai akibat globalisasi.
Dalam kaitnya
dengan lingkungan akademik perpustakaan
mempunyai kedudukan dan peran yang sangat vital untuk meningkatkan mutu suatu
sekolah atau perguruan tinggi. Oleh karena itu perpustakaan sering disebut
sebagai jantung dari suatu sekolah atau perguruan tinggi. Jika jantung sekolah
atau perguruan tinggi ini sehat, maka dia akan dapat mengalirkan dan
mendistribusikan darah (yang diibaratkan sebagai ilmu pengetahuan) ke seluruh
tubuh perguruan tinggi tersebut. Namun realitanya banyak orang melihat
perpustakaan hanyalah tempat menumpuk buku, sewaktu-waktu boleh dipinjam dan
dibaca. Disisi lain pegawai kurang bahkan tidak responsif, dengan kata lain
“ada pengunjung syukur, tidak ada pengunjung menganggur”[2].
Lebih jauh, dapat
dikatakan bahwa pendidikan sumbernya tiada lain adalah membaca, membaca dan
membaca. Tanpa membaca dan pengetahuan yang cukup, dapat dipastikan kita tidak dapat mengikuti
perkembangan zaman yang semakin maju. Dalam implikasinya, kreatifitas
pengetahuan mahasiswa juga menjadi konsep
yang dapat dianulir menjadi suatu potensi yang besar bagi pembangunan
bangsa.
Budaya dan membaca
bagi mahasiswa ibarat dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan satu
dengan yang lainnya dan saling
melengkapi. Karena melalui
membaca, mahasiswa dapat memperkaya
pengetahuannya sehingga mampu meningkatkan kemampuan diri, berinovasi atau
melakukan penelitian (reseach) serta mengetahui informasi terkini dalam dunia
pendidikan, perekonomian, bahkan dunia politik. Buku adalah gudang ilmu dan
membaca adalah kuncinya. Pendidikan tanpa membaca bagaikan raga tanpa ruh.
Fenomena “pengangguran intelektual” tidak akan terjadi apabila pelajar dan mahasiswa memiliki semangat membaca yang
membara.Membaca merupakan titik kisar
tumbuh-kembangnya suatu peradaban. Hal yang paling memprihatinkan adalah
mahasiswa indonesia yang tidak menyukai membaca adalah mahasiswa yang buta
huruf.
Di Indonesia budaya
’ngrumpi’ masih jauh lebih dominan dibandingkan dengan budaya baca. Kebiasaan
“ngrumpi” itu dapat kita saksikan dalam
banyak kesempatan. Misalnya, ketika ibu-ibu sedang berkumpul di sekolah
saat mengantar anaknya masuk sekolah, Demikian pula dengan mahasiswa yang asyik
berkumpul dengan teman sebayanya.
Bahkan, kebiasaan yang melekat dengan budaya ’ngrumpi’ adalah juga
sambil menghisap rokok dengan nikmatnya. Banyaknya sisa abu rokok yang dapat lihat berceceran di sekitar tempat duduknya
menunjukkan berapa lama waktu yang telah mereka habiskan untuk ’ngrumpi’ atau
ngobrol. Itulah gambaran budaya masyarakat masyarakat indonesia. Memang, budaya
seperti ini tidak seluruhnya negatif. Segi positifnya adalah dapat menjadi
media yang efektif untuk sosialisasi. Dengan media ini, terjadilah satu proses
saling asah, asih, dan asuh antarsesama warga masyarakat.
Membaca bukanlah
kewajiban yang datang dari luar dan harus dilakukan dengan terpaksa, melainkan
sebuah kebutuhan yang timbul dari dalam diri dan tentu saja akan dilakukan
dengan senang hati. Implikasi membaca bagi seseorang begitu sangat besar
pengaruhnya. Membaca akan membuka cakrawala kita pada peningkatan wawasan
keilmuan yang sangat dibutuhkan dalam membangun wacana berpikir secara
integral. Membaca, pada akhirnya akan membawa pada petualangan intelektual yang
mengasyikkan dan menakjubkan. Sehingga mampu menguasai segala informasi yang
dibutuhkan dalam kehidupan. Maka tidak heran, ketika Gola Gong, menyatakan
bahwa “hanya dengan buku kita dapat menggenggam dunia; menjelajah pemikiran dan
imajinasi yang terdapat di jagat raya”[3].
melalui budaya
masyarakat membaca kita akan melangkah menuju masyarakat belajar (learning
society). Prinsip belajar dalam abad 21 menurut UNESCO (1996) harus didasarkan pada empat pilar yaitu : 1)
learning to thing (belajar berpikir) ; 2) learning to do (belajar berbuat) ; 3) learning to be (belajar untuk tetap
hidup), dan 4) learning to live together (belajar hidup bersama antar bangsa).
Berangkat dari terwujudnya masyarakat belajar (learning society) maka akan
mencapai bangsa yang cerdas (educated nation) sesuai dengan amanat
Undang-Undang Dasar 1945 menuju masyarakat Madani (Civil Society)[4].
Adapun rumusan
masalah yang diangkat dari latar belakang di atas adalah (1) apa yang dimaksud
dengan budaya baca; (2) bagaimana kondisi minat baca mahasiswa; (2) apa saja
manfaat yang diperoleh apabila menerapkan budaya baca; (4) apa saja strategi
yang diterapkan untuk membangun budaya baca; (5) bagaimana hubungan budaya baca
dengan intelektualitas mahasiswa.
Dari permasalahan di
atas, penulisan ini bertujuan untuk (1) mengetahui konsep budaya baca; (2)
mengetahui kondisi minat baca mahasiswa; (2) menjelaskan mengenai manfaat yang
diperoleh apabila menerapkan budaya baca; (4) mengetahui strategi yang
diterapkan untuk membangun budaya baca; (5) mengetahui hubungan budaya baca
dengan intelektualitas mahasiswa.
Disadur dari tulisan
Hadi Nurahmad dan tulisan pada Kompasiana.
Semoga menjadi
inspirasi pada kalangan Civitas Academica untuk selalu menumbuhkan budaya baca,
terutama dalam lingkup kampus dan mahasiswa.
[1]
Diartikan sebagai nilai-nilai (values) yang dianut oleh masyarakat ataupun
persepsi yang dimiliki oleh warga masyarakat terhadap berbagai hal.
http://www.kalbariana.net/budaya-baca-masyarakat-indonesia.
[2]
Supriyanto. 2001. Dalam Makalahnya Pencanangan Gerakan Kalimantan Barat Membaca
[3]
Jawa Pos/ 21/ 06/ 06.
[4]
Athaillah Baderi. 2005. Meningkatkan Minat Baca Masyarakat Melalui Suatu
Kelembagaan Nasional. (orasi Ilmiah Dan Pengukuhan Pustakawan Utama).
Komentar
Posting Komentar